Tidak terasa 30 tahun sudah
Persekutuan Orang-orang Kudus TUHAN di HKBP Kayu Tinggi. Tepatnya, tahun
1982 perantau dari Tapian Na Uli sudah mulai tinggal di Kayu Tinggi-Cakung.
Selain HBP Rawamangun, tidak ada lagi Gereja yang terdekat. Sementara, Jemaat
yang mau beribadah ke Rawamangun kesulitan, karena harus menggnakan angkutan
umum. Akibatnya, bagi jemaat terasa lebih mudah beribadah ke GKP di Bekasi,
yang berada di lintasan Jalan Anyer – Panarukan yang dibuka oleh Deanles.
Kondisi itu mendorong beberapa warga jemaat untuk mendirikan HKBP di
Kayu Tinggi-Cakung. Setelah berdiskusi dengan para pelayan jemaat di HKBP
Rawamangun yang waktu itu dipimpin oleh Pdt. Dr. W Sihite. Atas perkenan
Majelis HKBP Resort Rawamangun, maka mulailah persekutuan di Kayu Tinggi –
Cakung.
Seperti kebanyakan Gereja, secara khusus HKBP. Jemaat di Kayu
Tinggi-Cakung pun memulai ibadah dan persekutuan dari rumah ke rumah. Baik
ibadah Mingguan maupun Ibadah Lingkungan. Pelayan yang pertama adalah: St. Pontas
Samosir, St. Belson Siregar dan St. Jahisar Sihombing. Dan pelaksana tugas Guru
Huria adalah St. Pontas Samosir. Jemaat kecil ini berafiliasi ke HKBP Resort
Rawamangun.
Tapi sayang, tanggal tepat pertama persekutuan rumah ke rumah itu tidak
ada yang tahu. Mungkin kalau ada akses ke HKBP Cakung (sipitu dai) boleh
mencari data tersebut di sana. Karena, mereka itu adalah saudara kembar HKBP
Kayu Tinggi.
Tidak mudah memang perjalanan kesaksian HKBP Kayu Tinggi pada awalnya.
Bukan persoalan internal yang mempersulit, melainkan saudara-saudara se-bangsa
dan se-tanah air, yang tidak menginginkan berdirinya Gereja di Kayu Tinggi.
Pernah terjadi pada 1984, HKBP Kayu Tinggi sudah memiliki tanah sendiri dan
mendirikan ruang ibadah sangat sederhana. Namun sehari sebelum digunakan untuk
ibadah, masyarakat telah merubuhkan bangunan sederhana itu dengan cara membakar.
Demi melihat bagunan yang sudah rusak itu, kesedihan pun merasuki hati warga
jemaat. Karena, tidak ada satu katapun dapat terucap.
Jumlah warga jemaat saat itu 40 kepala keluarga, teriri dari 225 jiwa.
Walaupun bangunan sudah menjadi debu, tetapi semangat warga jemaat
tetap. Apalagi, amang St. B. Siregar sangat yakin bahwa sebuah Gereja akan
berdiri di kayu Tinggi. Dan pada tahun yang sama, Jemaat pun sepakat membangun
ruang ibadah sederhana itu kembali di atas debu banguna pertama. Jadilah sebuah
bangunan bertiang bambu dan beratap tenda berwarna biru dengan ukuran (5 x 10)m2
. Tempat duduknya terbuat dari bambu dengan kaki kayu, sedangkan lantainya
tanah yang bercampur dengan abu pembakaran ruang ibadah terdahulu.
Jemaat yang datang beribadah setiap minggu pun lumayan banyak pada
waktu itu, rata-rata 35 orang. Pada masa raya Natal, yang biasanya dirayakan
malam, khusu jemaat kayu tinggi masuk jam 17.00 demikian pula pada malam akhir
tahun 31 Desember 1984.
Bangunan itu diperbaiki pada Juli 1985, kondisinya tentu lebih baik
dari sebelumnya. Bangunan yang luasnya (10x15)m2 , bukan dari bambu
tetapi kayu dan beratap seng tanpa pintu. Sedangkan tempat duduknya dari broti
panjang dengan kaki-kaki kaso. Lumayan lebih baik daripada sebelumnya.
Tapi sayang, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baru
saja dua kali digunakan untuk beribadah, pemerintah mengeluarkan surat
memerintahkan kepada warga jemaat untuk tidak menggunakan ruangan tersebut
untuk beribadah lagi. Seminggu kemudian, aparat pemerintah telah menghempang
jemaat secara khusus adik-adik sekolah minggu. Sehingga mereka beribadah di
pinggir jalan. Demikian pula, peserta ibadah dewasa pun diusir menjelang
beribadah. Jemaat sungguh kecewa dan beringsut menuju ke rumah seorang warga
jemaat untuk beribadah dipimpin oleh St. E. Hutasoit dari HKBP Klender.
Pada hari yang sama, St. Jahisar Sihombing bersama M. Sihombing
(sekarang sudah Sintua) diutus ke KODIM untuk melaporkan peristiwa di kayu
Tinggi. Sungguh baik TUHAN, melalui keluarga besar Sihombing, surat larangan
itu sampai kepada LAKSUSDA JAYA melalui KAPUSPEN ABRI yang dijabat oleh amang
BRIGJEND Pieter Damanik. Selanjutnya, MABES ABRI menugaskan LAKSUSDA Jaya untuk
membenahi peribadahan di HKBP Kayu Tinggi. Hasilnya, sekarang kita boleh
beribadah dengan lebih nyaman, tanpa gangguan yang berarti. Kiranya, kita boleh
memelihara kondisi ini dengan cinta kasih TUHAN yang telah melingkupi kehidupan
kita. (Sumber : Tulisan St. B. Panjaitan; diterjemahkan oleh Pdt. Erwin Marbun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar