Pendahuluan
Marminggu adalah
kata yang amat dekat dengan orang Batak. Kata tersebut identik dengan Ibadah
atau persekutuan umat. Tetapi kata itu telah berubah ketika masuk ke tanah
perantauan ini menjadi IBADAH atau KEBAKTIAN Minggu, karena ada berbagai-bagai
kebaktian. Perubahan kata itu mungkin membuat banyak orang mulai mempertanyakan
ibadah di HKBP dan atau mereka tidak memperoleh makna parmingguan itu sendiri.
Atau tidak jelasnya arti marminggu sendiri bagi setiap peserta ibadah sehingga
mereka mengalami kedinginan arti marminggu atau ibadah di HKBP, dan berbagai
kemungkinan lain. Secara khusus bagi kaum muda ibadah HKBP sesuatu yang monoton
dan tidak dinamis seperti geliat kemudaan mereka.
Kemungkinan-kemungkinan
di atas adalah wajar dan patut terjadi, karena ibadah tidak dapat dipisahkan
dari dua aspek yaitu iman dan pengetahuan. Artinya, ibadah itu harus jelas
artinya bagi peserta ibadah dan manfaatnya bagi keseluruhan hidupnya. Sehingga Ibadah
yang tidak dipahami akan menjadi siksaan berat bagi peserta ibadah. ibadah
dalam Perjanjian Lama (Ibr. ‘avoda) dan Perjanjian Baru (Yun. latreia)
sebenarnya ditujukan kepada pekerjaan budak atau hamba upahan, yang berarti pelayanan.
Arti tersebut lebih kurang sama dengan
kata “ibadah” yang digunakan oleh saudara kaum muslim, yakni kerja
keras. Dan dalam kata “kebaktian” pun hakikinya sama, kerja.
Karena itu, ibadah gereja adalah pelayanan terhadap Tuhan, dimana terjadi
interaksi yang terus menerus antara orang percaya dengan Allahnya: ada
pernyataan Allah dan sambutan atau respon umat melalui perkataan, nyanyian
pujian dan sikap.
Secara khusus, ibadah
umat Kristiani merupakan penyatan kehadiran Allah dalam sejarah manusia sejak
penciptaan, kehadiranNYA dalam diri YESUS di dunia ini, kematian dan
kebangkitannya, serta janji penyertaaan Tuhan bagi orang percaya di dalam Roh
Kudus, demikian menurut Pdt. Dr. A. A.
Sitompul[1].
Oleh karena itu, ibadah dengan tata ibadah haruslah menyingkapkan pemahaman
akan Firman Allah. Ibadah yang tidak mengungkapkan pemahaman akan Firman Allah bukanlah
ibadah yang hidup. Demikian juga, pemahaman akan Firman Allah atau teologi yang
tidak bermuara kepada ibadah adalah ajaran palsu.
Dalam tulisan
tentang tata ibadah ini ada tiga hal yang yang berkaitan dengan tata ibadah
HKBP akan diangkat ka hadapan kita, yaitu: pertama,
hari Minggu sebagai hari peribadahan; kedua
ruang peribadahan dimana orang-orang kudus berIbadah; dan ketiga adalah tata ibadah atau agenda itu sendiri.
Sepintas
Tentang Hari Minggu
Ibadah orang
Kristen sesungguhnya tidak tergantung kepada tempat dan waktu. Iman kita
mengatakan bahwa kita adalah orang-orang yang telah ditebus dan dimerdekakan
oleh Kristus, sehingga tidak terikat lagi kepada tempat dan waktu/hari atau
ajaran-ajaran yang mematikan (bdk. Kis. 15:28-30; Roma 14:5, 6; Gal. 3:23-25).
Hari Minggu, pada
awalnya, merupakan hari perayaan penyembah berhala di Eropa. Dalam bahasa
Inggris, hari Minggu disebut Sunday sama dengan Sonntag (Jerman). Kata tersebut
berakar pada kata Dies Solis, yang
berarti hari pertama atau mata hari (bukan: matahari). Biasanya mereka
mengadakan penyembahan kepada berhala agar mereka memperoleh keuntungan dan
pemeliharaan pada hari-hari selanjutnya.
Tetapi orang
Kristen memberi makna baru kepada hari tersebut: Kristus Mata Hari Kehidupan.
Artinya Kristuslah awal kehidupan itu sendiri bukan hari-nya yang menjadi
kehidupan manusia. Dan tergenapilah pemahaman penyembah berhala didalam
Kristus.
Dan setelah
Kaisar Konstantinus percaya dan membebaskan orang Kristen dari pengejaran, maka
hari minggu ditetapkan olehnya sebagai hari perhentian atau istirahat. Jadi
hari minggu menjadi hari istirahat atau perhentian tidak serta merta dengan
pemahaman hari ibadah. Tepatnya di tahun 321, sehingga hari minggu tidak hanya
memiliki arti teologis tetapi juga politis bagi kekaisaran Roma.
Adalah perlu juga
mencermati perubahan hari ibadah Sabbat menjadi Minggu. Karena ini menyangkut
isi dari kedua hari tersebut: apakah keduanya masih sama baik pemahaman dan
isinya?
Kedudukkan Sabbat(hari
perhentian; Jumat, pkl. 06.00 – Sabtu, pkl. 06.00) bagi orang Yahudi adalah
sebagai lembaga yang sama pentingnya dengan Bait Allah. Sebagaimana
diperintahkan Tuhan melalui Musa, saat menerima dasa titah (Kel. 20:8-11). Hari
Sabbat sangatlah Eskatologis. Artinya, pertama,
peristiwa penciptaan berakhir. Kedua,
Titah ini hendak mengingatkan bangsa Israel akan penyertaan Tuhan, dan
pembebasan serta penebusan dari penjajahan Mesir yang diselenggarakanNya. Ketiga, mereka diarahkan kepada
pengharapan tentang akhir dari segala penderitaan yakni kemerdekaan, seperti
akhir dari perjalanan Israel dari Mesir ke tanah perjanjian. Untuk itulah
mereka menyelenggarakan berbagai-bagai aturan sebagai wujud penyambutan
terhadap janji Tuhan itu: seperti memberikan korban bakaran, korban penghapusan
dosa dan menjauhkan diri dari kerja.
Selanjutnya, perhentian
atau akhir dari penciptaan itu tidak berhenti pada masa penciptaan dan tibanya
bangsa Israel di tanah Kanaan saja, melainkan Sabbat terpenuhi di dalam penebusan
yang terselenggara melalui diri Kristus: pelayanan, sengsara, kematian,
kebangitan dan kenaikkanNya ke surga. Dalam pemahaman inilah orang Kristen
berdiri: kelembagaan Sabbat itu pun hilang dan diperbaharui melalui pekerjaan
Kristus (Mat. 12:1-14; Mark. 2:23 - 3:5). Karya Kristus di dunia inilah yang
menjadi dasar bagi umat Kristen beribadah: merayakan kemenangan Kristus dan
datangnya Roh Kudus.
Pada kehidupan Kristen mula-mula waktu Ibadah
tidak tergantung lagi kepada hari Sabbat, tetapi mereka memelihara Ibadah pada
jam-jam tertentu (Kis 2:15, 46; 10:9; 3:1) setiap hari, biasanya: pukul 09.00,
12.00, 15.00, 22.00, 05.00. Ini merupakan serapan kebiasaan ibadah Yahudi di
sinagoge. Hal tersebut mereka pertahankan sebagai perwujudan sikap orang
percaya yang menantikan dan menyambut kedatangan Kristus (bdk. I Tes 4 : 15; Ibadah
ini juga telah disahkan HKBP dalam rapat Pendeta 2003 untuk dihidupkan kembali).
Tetapi, mereka juga menyelenggarakan Ibadah setiap hari minggu sebagai PERAYAAN
Kemenangan Tuhan Yesus dari antara orang mati (Mat. 28:1) dan turunnya Roh
Kudus pada hari pertama dalam minggu
itu, yakni hari Minggu (Kis. 2:1). Itulah hari persekutuan Gereja mula-mula,
yang mereka sebut sebagai HARI TUHAN. Pada setiap Ibadah Minggu pula mereka
menyelenggarakan Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus (I Kor. 11:24...; Roma
6:1-11; Gal. 34:27; hal ini masih dipertahankan oleh saudara-saudara
Khatolik-Roma).
Oleh karena itu
bagi umat Kristen, hari Minggu menjadi hari terakhir sekaligus hari pertama dan
baru: hari terakhir untuk kehidupan yang lama, tetapi awal untuk kehidupan baru
di dalam Kristus dan pengharapan akan kekekalan. Selayaknyalah umat Kristen
bersemangat pada hari Minggu untuk melayani Tuhan dengan menghaturkan pujian
Syukur dan penyembahan kepadaNya, dan bersekutu dengan sesamanya untuk
merayakan hari kemenangan itu.
Ruang
Ibadah
Dalam pertemuan
Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria di Sikhar, Dia berkata demikian, “Allah
itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam Roh dan
Kebenaran. (Yoh. 4:24)” Percakapan ini disampaikan Tuhan Yesus, karena
perempuan Samaria ragu tentang tempat berdoa yang sesungguhnya. Orang Yehuda
menganggap hanya gunung Sion-lah tempat yang kudus, sedangkan kaum Samaria
menganggap bahwa gunung Gerizim-lah tempat yang suci itu. Oleh karena itu, di
dalam Tuhan Yesus tempat sebenarnya bukan lagi menjadi masalah untuk berdoa.
Dimana saja setiap orang boleh berdoa, baik di tepi sungai atau jalan, di rumah
atau di tempat kerja. Yang terpenting ada tempat bagi umat untuk bersekutu dan
berdoa.
Tempat berdoa
atau persekutuan umat juga merupakan
semacam “base camp” bagi orang percaya, dimana mereka boleh berdoa,
memuji Tuhan mendengarkan firman Tuhan. Dari sanalah mereka pergi untuk
memenuhi panggilannya masing-masing (misalnya, sebagai seorang bapak, ibu, anak
dan pekerja). Ini mengingatkan kita tentang konsep “Pargodungan” di HKBP,
dimana semua orang memulai aktifitas setiap hari.
Sehubungan
dengan ruang-ruang Ibadah. Masing-masing denominasi gereja memiliki
pemahamannya sendiri tentang bangunan ruang Ibadah, sehingga masing-masing
denominasi gereja memiliki bentuk bangunan yang berbeda-beda. Perbedaan itu pun
terbuka terhadap pengaruh aspek sosial-budaya, geografi daya dan dana. Tetapi,
hal yang penting untuk diingat saat membangun ruang Ibadah adalah makna
bangunan itu bagi warganya. Agar peserta Ibadah pun tertolong atau tertuntun
untuk berIbadah – dimensi pedagogis.
Kebanyakkan
ruang Ibadah HKBP memiliki ciri yang sama dengan kebanyakkan gereja-gereja
Lutheran:
Menurut beberapa Pendeta yang
lebih tua, ruang-ruang Ibadah HKBP melukiskan dunia dimana orang Kristen
tinggal (3). Mereka harus menjalani salib (2) dan pemimpin perjananan mereka
adalah Kristus (1).
Baiklah kita
melihat pada setiap bagian:
1.
Ini
merupakan bagian kepala. Disana selalu ditempatkan biasanya adalah Altar. Altar
ini merupakan lambang Kristus sebagai kepala. Di gereja-gereja yang tua di
tanah batak dan di Jerman, pada altar selalu ada simbol salib dan ada dua
kotak/laci sebagai tempat untuk menyimpan alat-alat sakramen. Inilah yang
menjadi lukisan kehadiran dan keberadaan Kristus sebagai kepala bagi umat. Dan
disanalah setiap orang menerima berkat atau tahbisan, serta pelayan
menyelenggarakan pelayanan sakramen dan pemberkatan.
Menurut
Pdt. Dr. A.A. Sitompul seluruh bagian nomor 1 disebut sebagai altar, tetapi
dibagian lain – saat menjelaskan podium khotbah – beliau mengatakan bahwa
podium khotbah disamping altar. Menurut hemat saya, Altar adalah tempat dimana
persembahan disajikan. Artinya tidak seluruh ruangan nomor 1 disebut sebagai
altar.
Pada
ruangan nomor satu di beberapa ruang Ibadah hanya altar saja diletakkan disana,
sedangkan podium khotbah dan tingting di kiri dan kanan altar (St. Paul-Jerman).
Tetapi di HKBP lebih memilih untuk menyatukan kedua podium tersebut di samping
kiri dan kanan altar, karena dari kedua tempat tersebut disampaikan Firman
Tuhan.
Di
depan altar berdirilah liturgis atau paragenda sebagai imam Ibadah itu. Seperti pemahaman baik dalam Perjanjian
Lama dan Baru, imam merupakan perantara manusia dengan Tuhan.
2.
Sebagaimana
diterangkan di atas ini pun merupakan simbol yang mengatakan kepada kita semua
bahwa kita semua sedang menjalani jalan yang dilalui oleh Yesus: salib atau
penderitaan.
3.
Inilah
tempat dimana manusia tinggal: dunia.
4.
Bagian
ini di gereja-gereja tertentu merupakan ruang-ruang khusus, seperti penyimpanan
perlengkapan Ibadah dan ruang konsistori, atau konseling, atau pengakuan dosa.
Sedangkan di gereja-gereja yang lain (masih dalam lingkup HKBP) merupakan
tempat duduk para pelayan untuk melukiskan singgasana pengadilan Tuhan yang
dikelilingi oleh pelayan-pelayan Tuhan (Wahyu).
Selain itu, ada
banyak lagi perlengkapan dalam ruang ibadah dan dalam peribadahan yang
digunakan untuk membantu kelancaran peribadahan. Seperti baju-baju pelayan,
microphone, lukisan-lukisan dan simbol-simbol. Namun, baiklah setiap perkakas
dan benda dalam ruang ibadah bermakna dan bagi mereka yang melihatnya.
Demikianlah
ruang-ruang ibadah di gereja-gereja Lutheran, secara khusus di HKBP.
Sebagaimana dikatakan di atas, hal-hal tersebut bukanlah merupakan ketetapan
yang kepadanya manusia harus tunduk. Berbeda dengan saudara-saudara umat
Khatolik yang menguduskan benda-benda dalam ruang ibadahnya. Bagi Gereja-gereja
Protestan kesemuanya itu merupakan fasilitas untuk mendukung peribadahan umat,
dan membantu umat untuk memaknai kehidupan peribadahannya kepada Tuhan.
Artinya, saat
kita masuk dalam ruang ibadah, kita dapat mengatakan bahwa ruang ibadah kita
merupakan semacam reflektor: pantulan tentang perjalanan kehidupan kita
masing-masing serta menghadapmukakannya kepada Allah. Sehingga teramat penting
bagi setiap orang yang datang ke rumah-rumah ibadah adalah untuk melakukan
perenungan ulang akan perjalan hidupnya sebelumnya dan berdoa sebelum ibadah.
Kemudian, kita akan merespons semua itu dalam wujud pujian, doa dan syukur.
Tata
Ibadah HKBP
(Agenda)
Semua orang
Kristen mengetahui dalam hatinya bahwa mereka perlu beribadah atau kebaktian
kepada Tuhan. Akan tetapi bagi kebanyakkan orang dewasa ini kebaktian rupanya
seumpama seni yang sudah hilang dan tidak perlu lagi dalam kebaktian Minggu
atau saat teduh pribadi. Mengikuti kebaktian menjadi sesuatu yang biasa saja.
Pikiran berkelana memikirkan hal-hal lain. Dalam ruang ibadah, kita lebih suka
menjadi seperti penonton quiz. Ketika pembawa acara katakan tepuk tangan,
lantas peserta pun bertepuk tangan dan seterusnya. Mereka juga banyak yang
cukup jujur, mengatakan, bahwa mereka tidak mengetahui berbakti kepada Tuhan.
Beribadah atau
berbakti kepada Tuhan sesungguhnya merupakan panggilan kepada setiap orang,
suku, bangsa dan generasi. Ini merupakan panggilan tertinggi dari Tuhan kepada
kita pribadi lepas pribadi. Dan panggilan itu harus ditanggapi oleh setiap
pribadi. Dalam menjawab panggilan berbakti kepada Allah ada beberapa kebenaran
pokok:
1.
Ibadah
yang benar bersumber pada Tuhan Allah. Artinya Ibadah itu merupakan anugerah
Tuhan bagi manusia dan membentuk sebuah pengakuan bahwa Tuhan menemukan dan
mengampuni setiap pribadi.
2.
Ibadah
yang benar diselenggarakan atau dilaksanakan bukan sekedar karena manusia
butuh, melainkan karena Tuhan pantas menerima tanggapan
manusia dalam bentuk pujian dan penyembahan (bdk. kebutuhan menyembah ilah
dalam agama primitif dan kultus individu).
3.
Ibadah
yang benar berpusat kepada Tuhan, siapakah Tuhan bagi setiap pribadi?
Berangkat dari pemahaman
tersebut, HKBP menyusun tata Ibadah seperti yang ada sekarang.
1.
Pembukaan
Jemaat berdiri pada bagian
pembukaan ini merupakan wujud sambutan umat atas kehadiran Allah. Bagian
pembukaan terdiri dari tiga bagian penting yang berjalan beriringan, yaitu:
a.
Votum
“Didalam nama Allah Bapa dan
didalam nama, Tuhan Yesus Kristus dan didalam nama Roh Kudus yang telah
menciptakan langit dan bumi. Amin. Ini
diucapkan segera setelah pelayan Ibadah atau imam memasuki ruang Ibadah. Dalam
votum ini terletak kuasa dan amanat Tuhan. Votum merupakan penyataan kehadiran
Allah ditengah-tengah umatNya dan sebagai dasar persekutuan umat. Sehingga
pertemuan atau persekutuan itu berasal dari Allah. Dialah yang menciptakan dan
memanggil setiap orang untuk hadir ke hadiratNya. Dan persekutuan tersebut
tidak berdasarkan marga atau suku, atau bangsa, atau generasi, apalagi budaya,
politik, strata ekonomi dan sosial. Sungguh hanya karena Allah.
b.
Salam
Usai penyataan kehadiran, amanat
dan kuasa Allah. Imam menyampaikan salam Allah, yaitu ayat alkitab yang
berisikan tentang rahmat dan anugerah Tuhan
bagi umatnya. Contohnya adalah ayat untuk minggu Jubilate,
“Bersorak-sorailah bagi Allah, hai seluruh bumi...; oleh sebab kekuatanMu yang
besar, musuh-musuhMu tunduk menjilat kepadaMU (Maz. 66:1-3).” Disini imam
menyapa umatnya, artinya Tuhan berkenan bersekutu bersama umat dan
menganugerahkan rahmatNya atas umat, yakni keselamatan.
c.
Introitus
Ayat Alkitab di atas juga
dipahami sebagai Introitus, yang mengawali pernyataan Allah kepada umat. Dan
dilanjutka dengan sambutan umat atasnya. Di HKBP umat meresponsnya dengan
nyanyian, “Haleluya, haleluya, haleluya....” Ungkapan terpujilah Tuhan Allah
ini disambung dengan doa umat yang dipimpin oleh imam dan nyanyian rohani yang
sesuai dengan tahun Gerejani. Karena hal tersebut merupakan doa umat dan
nyanyian umat, selayaknyalah setiap anggota jemaat mengaminkan doa tersebut
dalam hati dan dengan bersungguh-sungguh mengungkapkan pujian bagi kemuliaan
Tuhan.
2.
Pengakuan Dosa
Ada tiga bagian penting dalam
pengakuan dosa bersama ini, yaitu :
a.
Dasa firman
Dasafirman atau yang kita kenal
dengan Hukum Taurat. Letak hukum Taurat dalam Gereja-gereja di Indonesia,
secara khusus kaum Lutheran dan Calvinis berbeda-beda. HKBP sebagai kaum
Lutheran menempatkannya sebelum doa pengakuan dosa, tetapi kelompok Calvin
(mis, GPIB) menempatkannya setelah doa pengakuan dosa, sebagai puji-pujian.
HKBP memilih untuk
menempatkannya sebelum pengakuan dosa, karena memahami Dasafirman sebagai
“CERMIN”. Pada cermin itulah setiap orang berkaca untuk melihat dirinya,
sehingga masing-masing orang mengenal dirinya sebagai orang yang tidak luput
dari dosa.[2]
Pengenalan akan diri[3]
itulah yang memotivasi setiap orang memohon kekuatan untuk menyelenggarannya
dalam hidup setiap hari (Ale Tuhan Debata sai pargogoi ma hami mangulahon na
hombar tu PatikMU).
b.
Doa Pengakuan Dosa
Pengenalan diri yang
sungguh-sungguh itu telah membuat penemuan dalam diri kita bahwa kita ada dalam
dosa dan memohon keampunan dosa. Ini amat penting dalam hidup dan Ibadah kita.
Kita hendak mengakui bahwa kita adalah orang berdosa dan dosa itu telah amat
menyedihkan hati kita terlebih Tuhan. Sehingga kita tidak dapat berjalan terus,
bila Tuhan tidak mengampuninya. Oleh karena itu, umat yang merindukan keampunan
dosa menyatakannya dengan berdiri.
Bagian ini tidak mengarahkan
setiap orang untuk berpaham, “Tuhan Mahakasih, marilah kita berdosa lagi.” Bila
setiap minggu hal ini diulang-ulang berarti, pertama, Allah sungguh penuh dengan pengampunan bagi mereka yang
sungguh-sungguh mengakui dosanya. Sehingga setiap orang boleh disadarkan
kembali akan karya Tuhan dalam hidupnya dan mau hidup dari apa yang dikatakan
kepadanya setiap mingu itu. Kedua, jemaat mau memandang ke depan melalui
pintu yang terbuka kepada minggu yang baru dimana Jemaat boleh hidup dari apa
yang telah dianugerahkan kepadanya. Sehingga selayaknyalah manusia hidup
semakin baik dari minggu ke minggu.
c.
Absolusi
Absolusi atau berita
penyelesaian atau keampunan dosa. Dulu, pada tahun 1551, ada pembacaan absolusi
yang diikuti dengan berita penolakkan kepada orang yang tidak mengaku dosa
dengan sungguh-sungguh. Ini didasarkan kepada pernyataan Tuhan Yesus dalam
Matius 16:19, 18:18 dan Yohannes 20:23.[4]
Dan umat mensyukuri berita pengampuna dosa itu dengan ucapan, “Kemuliaan bagi
Allah di tempat yang Maha Tinggi. Amin.”
3.
Epistel
Epistel berasal dari kata seakar dengan kata Apostel.
Apostel untuk pelakunya atau orangnya dan epistel untuk sesuatu yang dituliskan
oleh Apostel, artinya semacam surat yang bertujuan menggembalakan atau pembaca
memahami apa yang seharusnya dilakukan. Sehingga pembacaan Epistel dalam Ibadah
kita bertujuan agar pembaca tidak kembali lagi kepada kehidupan lama, melainkan
kepada kehidupan yang baru. Itulah pula sebabnya Epistel dibacakan usai
pengakuan dosa.
Setelah umat mendengarkan
wejangan atau Epistel itu, imam menyampaikan, “Berbahagialah orang yang
mendengarkan Firman Tuhan serta memeliharanya. Amin” Kata “memelihara” dalam
ucapan imam tersebut dikutip dari Lukas 11:28. Ini bukan berarti hanya
menghapalnya saja. Kata “memelihara” berarti membuatnya hidup, bertumbuh dan
berbuah menjadi nilai-nilai dalam hidupnya. Artinya, imam tidak perlu lagi
menambahkan kata lain kepada kalimat tersebut.
4.
Pengakuan Iman
Pada awalnya, pengakuan iman
ini diucapkan hanya pada penerimaan sakramen baptisan kudus[5]:
Imam : Percayakah engkau kepada Allah, Bapa Yang Maha Kuasa?
Orang
yang dibaptis :Aku percaya. (kemudian dia diselamkan, yang berarti
dikuburkan).
Imam : Percayakah engkau kepada Yesus Kristus, Tuhan kita dan salibnya ?
Orang
yang dibaptis : Aku percaya (kemudian ia diselamkan, berarti dikubur bersama
Kristus, agar dibakitkan pula bersamaNya).
Imam : Percayakah engkau kepada Roh Kudus ?
Orang
yang dibaptis : Aku percaya (Dan dia diselamkan untuk yang ketiga kalinya).
Jelas disana pengakuan itu
diselenggarakan oleh pribadi-pribadi.
Pengakuan iman ini dalam dalam Ibadah
dan kehidupan kita memiliki arti sebagai puji-pujian, semacam panji-panji
kesaksian bagi dunia dan pernyataan pembelaan atas kebenaran tentang Tuhan
kita.. Disamping itu pengakuan iman berfungsi sebagai rangkuman atas seluruh
berita tentang karya Tuhan dan renspons kita terhadap perbuatan Tuhan. Sehingga
pada tahun 1525, Luther menganjurkan untuk menggunakan pengakuan iman juga
dalam Ibadah-Ibadah sesudah pembacaan Injil atau Epistel dan menyatakannya
secara serentak. Artinya, sebagai komitmen atas apa yang telah dilakukan Tuhan
dalam hidup kita.
Adalah hal yang menarik
undangan untuk mengaku iman di HKBP dan di beberapa Gereja lain, demikian,
“Bersama saudara seiman di seluruh dunia dan di segala abad, marilah....”
Artinya tidak hanya kita yang mengaku seperti itu, melainkan juga seluruh
saudara di seluruh dunia. Dan di segala abad berarti, mereka yang telah
meninggal dan yang akan datang menyatakan hal yang sama tentang Tuhan dengan
segala karyaNya. Ini juga hendak menyatakan kesatuan seluruh tubuh Kristus.
5.
Warta Jemaat
Jadi usai mendengar berita
tentang Allah, sebagai sebuah umat yang dipimpin oleh Allah itu pun memiliki
kesempatan untuk mengetahui berita sesama warga dan perkembangan persekutuan
orang percaya. Sayang sekali, kala warta jemaat disiarkan banyak orang yang
tidak peduli dan mensyukurinya. Dalam beberapa jemaat di HKBP, biasanya diselenggarakan
doa syafaat atas semua berita itu. Padahal menurut agenda, doa syafaat
diselenggarakan usai doa persembahan dan sebelum doa Bapa Kami, sehingga yang
terjadi adalah tumpang tindih.
6. Persembahan
Ada
yang menyebut persembahan dengan kata korban atau kolekte. Di Gereja mula-mula,
persembahan selalu innatura sebagai bentuk rasa syukur atas pemberian Tuhan.
Atas berbagai pertimbangan pada abad 11, persembahan tersebut dirubah menjadi
bentuk uang.
Persembahan ini, tentu saja
tidak dimaksudkan sebagai korban bakaran sebagaimana Umat Tuhan pada masa lalu,
karena Tuhan Yesus sajalah satu-satunya korban yang menggantikan kita semua.
Tugas kitalah memberitakan tentang korban itu baik melalui perkataan, perbuatan
dan melalui seluruh keberadaan kita (Band. Roma 12 : 1). Jadi persembahan itu
pun tidak melulu berarti ucapan syukur belaka, atau amal saja, melainkan juga
bentuk kesaksian setiap umat. Setiap orang melalui persembahanny hendak
mengakui dan bersaksi betapa baiknya TUHAN. Kita pun mengimani bahwa nyanyian
kala kita mengumpulkan persembahan merupakan persembahan.
Oleh karena itu, HKBP tidak
mengharuskan dan tidak pula meniadakan pengakuan tentang persepuluhan. Artinya,
Persembahan kita adalah harus yang terbaik dari seluruh kehidupan kita baik
uang, pikiran, tenaga, perkataan dan perbuatan.
7.
Khotbah
Biasanya ibadah berakhir pada
Perjamuan kudus dan persembahan, sehingga setiap minggu Ibadah akan selalu
diikuti dengan perayaan perjamuan kudus. Khotbah adalah unsur terakhir yang
masuk ke dalam tata ibadah di Gereja mula-mula. Karena khotbah memiliki tempat
tersendiri dalam ibadah pelayanan firman atau khotbah. Jadi ada ibadah khusus
yang berisikan khotbah. Tetapi, dalam abad pertengahan hal itu dimasukan ke
dalam ibadah, sehingga perjamuan kudus menjadi terpisahkan dari ibadah atau
tata ibadah. Sampai sekarang, hanya Gereja khatolik yang mempertahankan
pelayanan perjamuan kudus itu. Sementara kita merayakannya hanya dua kali
setahun.
Khotbah sangat berbeda daripada
ceramah. Khotbah dalam Gereja kita adalah media untuk menyatakan kehendak Allah
kepada manusia, pengajaran, penyembuhan secara holistik, nubuat dan sarana
untuk membenahi seluruh pelayanan setiap anggota Gereja dalam hidupnya setiap
hari.
8.
Penutup
Dalam bagian penutup terdiri
dari:
a. Doa persembahan dan lagu
persembahan.
b. Doa syafaat dan atau doa Bapak
kami.
c.
Berkat.
Rumusan berkat yang sering kita dengar usai ibadah Minggu adalah rumusan dari
Bil. 6 : 22 - 27
9.
Nyanyian Jemaat
Nyanyian Jemaat adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari setiap butir agenda Minggu. Ini merupakan bentuk
dari respons atas setiap butir yang akan dan telah dilalui. Misalnya, lagu
kedua dalam setiap ibadah pada hari minggu merupakan pujian atas kesediaan
Tuhan hadir di tengah-tengah umatNya sekaligus mengantarkan seluruh umat untuk
mengenal dirinya di hadapan Tuhan melalui pembacaan Dasa Titah.
Disamping Nyanyian Jemaat,
adapula Koor. Pada mulanya, Koor berfungsi sebagai Kantoria atau pemandu lagu
jemaat. Oleh karena itu, Koor seharusnya memilih lagu bukan karena ada lagu
baru, atau sekedar sebagai ajang untuk memperdengarkan suara yang merdu apalagi
hanya untuk menunjukkan eksistensi diri. Melainkan, Koor harus selalu
berhubungan dengan tata ibadah itu sendiri. Artinya, Koor harus sungguh-sungguh
menolong umat juga untuk memahami Ibadahnya.
Ibadah tidak berguna tanpa
iman.
Konfesi Gereja
Lutheran
(Buku Konkord-terj., 328)
Melalui Iman,
kita memperoleh berkat berupa hubungan yang tidak terputuskan
dengan Tuhan Yang Mahahadir dan Mahakuasa.
(Andrew Murray,
The Prayer Life)
[1] SITOMPUL, A. A., Pdt.,
Dr., Parmingguon Na Mangolu, P. Siantar,
Perc. HKBP, Mei 1986, hal. 7
[2] SIAHAAN, P.G., St., MAKNA
DARI IBADAH MINGGU DI HKBP, Ciputat, 2000.
[3] SITOMPUL, A.A., Pdt. Dr.,
BERTUMBUH SEBAGAI UMAT ALLAH – Buku Katekisasi, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
1991, 23. Allah memberi kita perintah-perintahNya: sebagai pagar untuk
melindungi kita, cermin untuk menunjuk dosa kita dan rambu atau petunjuk
menyenangkan hati Tuhan.
[4] ABINENO, J. L. Ch., Pdt., Dr. UNSUR-UNSUR LITURGIA,
Jakarta, BPK Gunung Mulia, cet. Ketiga, 2000, 22.
[5] Abineno, J. L.
Ch., Dr., UNSUR-UNSUR LITURGIA, Jakarta, BPK Gunung Mulia, cet. Ketiga,
2000, hal. 79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar