Rabu, 03 Oktober 2012

Parmingguan Di HKBP


Pendahuluan
Marminggu adalah kata yang amat dekat dengan orang Batak. Kata tersebut identik dengan Ibadah atau persekutuan umat. Tetapi kata itu telah berubah ketika masuk ke tanah perantauan ini menjadi IBADAH atau KEBAKTIAN Minggu, karena ada berbagai-bagai kebaktian. Perubahan kata itu mungkin membuat banyak orang mulai mempertanyakan ibadah di HKBP dan atau mereka tidak memperoleh makna parmingguan itu sendiri. Atau tidak jelasnya arti marminggu sendiri bagi setiap peserta ibadah sehingga mereka mengalami kedinginan arti marminggu atau ibadah di HKBP, dan berbagai kemungkinan lain. Secara khusus bagi kaum muda ibadah HKBP sesuatu yang monoton dan tidak dinamis seperti geliat kemudaan mereka.
Kemungkinan-kemungkinan di atas adalah wajar dan patut terjadi, karena ibadah tidak dapat dipisahkan dari dua aspek yaitu iman dan pengetahuan. Artinya, ibadah itu harus jelas artinya bagi peserta ibadah dan manfaatnya bagi keseluruhan hidupnya. Sehingga Ibadah yang tidak dipahami akan menjadi siksaan berat bagi peserta ibadah. ibadah dalam Perjanjian Lama (Ibr. ‘avoda) dan Perjanjian Baru (Yun. latreia) sebenarnya ditujukan kepada pekerjaan budak atau hamba upahan, yang berarti pelayanan. Arti tersebut lebih kurang sama dengan  kata “ibadah” yang digunakan oleh saudara kaum muslim, yakni kerja keras. Dan dalam kata “kebaktian” pun hakikinya sama, kerja. Karena itu, ibadah gereja adalah pelayanan terhadap Tuhan, dimana terjadi interaksi yang terus menerus antara orang percaya dengan Allahnya: ada pernyataan Allah dan sambutan atau respon umat melalui perkataan, nyanyian pujian dan sikap.
Secara khusus, ibadah umat Kristiani merupakan penyatan kehadiran Allah dalam sejarah manusia sejak penciptaan, kehadiranNYA dalam diri YESUS di dunia ini, kematian dan kebangkitannya, serta janji penyertaaan Tuhan bagi orang percaya di dalam Roh Kudus,  demikian menurut Pdt. Dr. A. A. Sitompul[1]. Oleh karena itu, ibadah dengan tata ibadah haruslah menyingkapkan pemahaman akan Firman Allah.  Ibadah yang tidak mengungkapkan pemahaman akan Firman Allah bukanlah ibadah yang hidup. Demikian juga, pemahaman akan Firman Allah atau teologi yang tidak bermuara kepada ibadah adalah ajaran palsu.
Dalam tulisan tentang tata ibadah ini ada tiga hal yang yang berkaitan dengan tata ibadah HKBP akan diangkat ka hadapan kita, yaitu: pertama, hari Minggu sebagai hari peribadahan; kedua ruang peribadahan dimana orang-orang kudus berIbadah; dan ketiga adalah tata ibadah atau agenda itu sendiri.
Sepintas Tentang Hari Minggu
Ibadah orang Kristen sesungguhnya tidak tergantung kepada tempat dan waktu. Iman kita mengatakan bahwa kita adalah orang-orang yang telah ditebus dan dimerdekakan oleh Kristus, sehingga tidak terikat lagi kepada tempat dan waktu/hari atau ajaran-ajaran yang mematikan (bdk. Kis. 15:28-30; Roma 14:5, 6; Gal. 3:23-25).
Hari Minggu, pada awalnya, merupakan hari perayaan penyembah berhala di Eropa. Dalam bahasa Inggris, hari Minggu disebut Sunday sama dengan Sonntag (Jerman). Kata tersebut berakar  pada kata Dies Solis, yang berarti hari pertama atau mata hari (bukan: matahari). Biasanya mereka mengadakan penyembahan kepada berhala agar mereka memperoleh keuntungan dan pemeliharaan pada hari-hari selanjutnya.
Tetapi orang Kristen memberi makna baru kepada hari tersebut: Kristus Mata Hari Kehidupan. Artinya Kristuslah awal kehidupan itu sendiri bukan hari-nya yang menjadi kehidupan manusia. Dan tergenapilah pemahaman penyembah berhala didalam Kristus.
Dan setelah Kaisar Konstantinus percaya dan membebaskan orang Kristen dari pengejaran, maka hari minggu ditetapkan olehnya sebagai hari perhentian atau istirahat. Jadi hari minggu menjadi hari istirahat atau perhentian tidak serta merta dengan pemahaman hari ibadah. Tepatnya di tahun 321, sehingga hari minggu tidak hanya memiliki arti teologis tetapi juga politis bagi kekaisaran Roma.
Adalah perlu juga mencermati perubahan hari ibadah Sabbat menjadi Minggu. Karena ini menyangkut isi dari kedua hari tersebut: apakah keduanya masih sama baik pemahaman dan isinya?
Kedudukkan Sabbat(hari perhentian; Jumat, pkl. 06.00 – Sabtu, pkl. 06.00) bagi orang Yahudi adalah sebagai lembaga yang sama pentingnya dengan Bait Allah. Sebagaimana diperintahkan Tuhan melalui Musa, saat menerima dasa titah (Kel. 20:8-11). Hari Sabbat sangatlah Eskatologis. Artinya, pertama, peristiwa penciptaan berakhir. Kedua, Titah ini hendak mengingatkan bangsa Israel akan penyertaan Tuhan, dan pembebasan serta penebusan dari penjajahan Mesir yang diselenggarakanNya. Ketiga, mereka diarahkan kepada pengharapan tentang akhir dari segala penderitaan yakni kemerdekaan, seperti akhir dari perjalanan Israel dari Mesir ke tanah perjanjian. Untuk itulah mereka menyelenggarakan berbagai-bagai aturan sebagai wujud penyambutan terhadap janji Tuhan itu: seperti memberikan korban bakaran, korban penghapusan dosa dan menjauhkan diri dari kerja.
Selanjutnya, perhentian atau akhir dari penciptaan itu tidak berhenti pada masa penciptaan dan tibanya bangsa Israel di tanah Kanaan saja, melainkan Sabbat terpenuhi di dalam penebusan yang terselenggara melalui diri Kristus: pelayanan, sengsara, kematian, kebangitan dan kenaikkanNya ke surga. Dalam pemahaman inilah orang Kristen berdiri: kelembagaan Sabbat itu pun hilang dan diperbaharui melalui pekerjaan Kristus (Mat. 12:1-14; Mark. 2:23 - 3:5). Karya Kristus di dunia inilah yang menjadi dasar bagi umat Kristen beribadah: merayakan kemenangan Kristus dan datangnya Roh Kudus.
 Pada kehidupan Kristen mula-mula waktu Ibadah tidak tergantung lagi kepada hari Sabbat, tetapi mereka memelihara Ibadah pada jam-jam tertentu (Kis 2:15, 46; 10:9; 3:1) setiap hari, biasanya: pukul 09.00, 12.00, 15.00, 22.00, 05.00. Ini merupakan serapan kebiasaan ibadah Yahudi di sinagoge. Hal tersebut mereka pertahankan sebagai perwujudan sikap orang percaya yang menantikan dan menyambut kedatangan Kristus (bdk. I Tes 4 : 15; Ibadah ini juga telah disahkan HKBP dalam rapat Pendeta 2003 untuk dihidupkan kembali). Tetapi, mereka juga menyelenggarakan Ibadah setiap hari minggu sebagai PERAYAAN Kemenangan Tuhan Yesus dari antara orang mati (Mat. 28:1) dan turunnya Roh Kudus pada hari pertama  dalam minggu itu, yakni hari Minggu (Kis. 2:1). Itulah hari persekutuan Gereja mula-mula, yang mereka sebut sebagai HARI TUHAN. Pada setiap Ibadah Minggu pula mereka menyelenggarakan Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus (I Kor. 11:24...; Roma 6:1-11; Gal. 34:27; hal ini masih dipertahankan oleh saudara-saudara Khatolik-Roma).
Oleh karena itu bagi umat Kristen, hari Minggu menjadi hari terakhir sekaligus hari pertama dan baru: hari terakhir untuk kehidupan yang lama, tetapi awal untuk kehidupan baru di dalam Kristus dan pengharapan akan kekekalan. Selayaknyalah umat Kristen bersemangat pada hari Minggu untuk melayani Tuhan dengan menghaturkan pujian Syukur dan penyembahan kepadaNya, dan bersekutu dengan sesamanya untuk merayakan hari kemenangan itu.
Ruang Ibadah
Dalam pertemuan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria di Sikhar, Dia berkata demikian, “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam Roh dan Kebenaran. (Yoh. 4:24)” Percakapan ini disampaikan Tuhan Yesus, karena perempuan Samaria ragu tentang tempat berdoa yang sesungguhnya. Orang Yehuda menganggap hanya gunung Sion-lah tempat yang kudus, sedangkan kaum Samaria menganggap bahwa gunung Gerizim-lah tempat yang suci itu. Oleh karena itu, di dalam Tuhan Yesus tempat sebenarnya bukan lagi menjadi masalah untuk berdoa. Dimana saja setiap orang boleh berdoa, baik di tepi sungai atau jalan, di rumah atau di tempat kerja. Yang terpenting ada tempat bagi umat untuk bersekutu dan berdoa.
Tempat berdoa atau persekutuan umat juga merupakan  semacam “base camp” bagi orang percaya, dimana mereka boleh berdoa, memuji Tuhan mendengarkan firman Tuhan. Dari sanalah mereka pergi untuk memenuhi panggilannya masing-masing (misalnya, sebagai seorang bapak, ibu, anak dan pekerja). Ini mengingatkan kita tentang konsep “Pargodungan” di HKBP, dimana semua orang memulai aktifitas setiap hari.
Sehubungan dengan ruang-ruang Ibadah. Masing-masing denominasi gereja memiliki pemahamannya sendiri tentang bangunan ruang Ibadah, sehingga masing-masing denominasi gereja memiliki bentuk bangunan yang berbeda-beda. Perbedaan itu pun terbuka terhadap pengaruh aspek sosial-budaya, geografi daya dan dana. Tetapi, hal yang penting untuk diingat saat membangun ruang Ibadah adalah makna bangunan itu bagi warganya. Agar peserta Ibadah pun tertolong atau tertuntun untuk berIbadah – dimensi pedagogis.
Kebanyakkan ruang Ibadah HKBP memiliki ciri yang sama dengan kebanyakkan gereja-gereja Lutheran:

Menurut beberapa Pendeta yang lebih tua, ruang-ruang Ibadah HKBP melukiskan dunia dimana orang Kristen tinggal (3). Mereka harus menjalani salib (2) dan pemimpin perjananan mereka adalah Kristus (1).
Baiklah kita melihat pada setiap bagian:
1.    Ini merupakan bagian kepala. Disana selalu ditempatkan biasanya adalah Altar. Altar ini merupakan lambang Kristus sebagai kepala. Di gereja-gereja yang tua di tanah batak dan di Jerman, pada altar selalu ada simbol salib dan ada dua kotak/laci sebagai tempat untuk menyimpan alat-alat sakramen. Inilah yang menjadi lukisan kehadiran dan keberadaan Kristus sebagai kepala bagi umat. Dan disanalah setiap orang menerima berkat atau tahbisan, serta pelayan menyelenggarakan pelayanan sakramen dan pemberkatan.
Menurut Pdt. Dr. A.A. Sitompul seluruh bagian nomor 1 disebut sebagai altar, tetapi dibagian lain – saat menjelaskan podium khotbah – beliau mengatakan bahwa podium khotbah disamping altar. Menurut hemat saya, Altar adalah tempat dimana persembahan disajikan. Artinya tidak seluruh ruangan nomor 1 disebut sebagai altar.
Pada ruangan nomor satu di beberapa ruang Ibadah hanya altar saja diletakkan disana, sedangkan podium khotbah dan tingting di kiri dan kanan altar (St. Paul-Jerman). Tetapi di HKBP lebih memilih untuk menyatukan kedua podium tersebut di samping kiri dan kanan altar, karena dari kedua tempat tersebut disampaikan Firman Tuhan.
Di depan altar berdirilah liturgis atau paragenda sebagai imam Ibadah  itu. Seperti pemahaman baik dalam Perjanjian Lama dan Baru, imam merupakan perantara manusia dengan Tuhan.
2.    Sebagaimana diterangkan di atas ini pun merupakan simbol yang mengatakan kepada kita semua bahwa kita semua sedang menjalani jalan yang dilalui oleh Yesus: salib atau penderitaan.
3.    Inilah tempat dimana manusia tinggal: dunia.
4.    Bagian ini di gereja-gereja tertentu merupakan ruang-ruang khusus, seperti penyimpanan perlengkapan Ibadah dan ruang konsistori, atau konseling, atau pengakuan dosa. Sedangkan di gereja-gereja yang lain (masih dalam lingkup HKBP) merupakan tempat duduk para pelayan untuk melukiskan singgasana pengadilan Tuhan yang dikelilingi oleh pelayan-pelayan Tuhan (Wahyu).
Selain itu, ada banyak lagi perlengkapan dalam ruang ibadah dan dalam peribadahan yang digunakan untuk membantu kelancaran peribadahan. Seperti baju-baju pelayan, microphone, lukisan-lukisan dan simbol-simbol. Namun, baiklah setiap perkakas dan benda dalam ruang ibadah bermakna dan bagi mereka yang melihatnya.
Demikianlah ruang-ruang ibadah di gereja-gereja Lutheran, secara khusus di HKBP. Sebagaimana dikatakan di atas, hal-hal tersebut bukanlah merupakan ketetapan yang kepadanya manusia harus tunduk. Berbeda dengan saudara-saudara umat Khatolik yang menguduskan benda-benda dalam ruang ibadahnya. Bagi Gereja-gereja Protestan kesemuanya itu merupakan fasilitas untuk mendukung peribadahan umat, dan membantu umat untuk memaknai kehidupan peribadahannya kepada Tuhan.
Artinya, saat kita masuk dalam ruang ibadah, kita dapat mengatakan bahwa ruang ibadah kita merupakan semacam reflektor: pantulan tentang perjalanan kehidupan kita masing-masing serta menghadapmukakannya kepada Allah. Sehingga teramat penting bagi setiap orang yang datang ke rumah-rumah ibadah adalah untuk melakukan perenungan ulang akan perjalan hidupnya sebelumnya dan berdoa sebelum ibadah. Kemudian, kita akan merespons semua itu dalam wujud pujian, doa dan syukur.
Tata Ibadah HKBP (Agenda)
Semua orang Kristen mengetahui dalam hatinya bahwa mereka perlu beribadah atau kebaktian kepada Tuhan. Akan tetapi bagi kebanyakkan orang dewasa ini kebaktian rupanya seumpama seni yang sudah hilang dan tidak perlu lagi dalam kebaktian Minggu atau saat teduh pribadi. Mengikuti kebaktian menjadi sesuatu yang biasa saja. Pikiran berkelana memikirkan hal-hal lain. Dalam ruang ibadah, kita lebih suka menjadi seperti penonton quiz. Ketika pembawa acara katakan tepuk tangan, lantas peserta pun bertepuk tangan dan seterusnya. Mereka juga banyak yang cukup jujur, mengatakan, bahwa mereka tidak mengetahui berbakti kepada Tuhan.
Beribadah atau berbakti kepada Tuhan sesungguhnya merupakan panggilan kepada setiap orang, suku, bangsa dan generasi. Ini merupakan panggilan tertinggi dari Tuhan kepada kita pribadi lepas pribadi. Dan panggilan itu harus ditanggapi oleh setiap pribadi. Dalam menjawab panggilan berbakti kepada Allah ada beberapa kebenaran pokok:
1.    Ibadah yang benar bersumber pada Tuhan Allah. Artinya Ibadah itu merupakan anugerah Tuhan bagi manusia dan membentuk sebuah pengakuan bahwa Tuhan menemukan dan mengampuni setiap pribadi.
2.    Ibadah yang benar diselenggarakan atau dilaksanakan bukan sekedar karena manusia butuh, melainkan karena Tuhan pantas menerima tanggapan manusia dalam bentuk pujian dan penyembahan (bdk. kebutuhan menyembah ilah dalam agama primitif dan kultus individu).
3.    Ibadah yang benar berpusat kepada Tuhan, siapakah Tuhan bagi setiap pribadi?
Berangkat dari pemahaman tersebut, HKBP menyusun tata Ibadah seperti yang ada sekarang.
1.   Pembukaan
Jemaat berdiri pada bagian pembukaan ini merupakan wujud sambutan umat atas kehadiran Allah. Bagian pembukaan terdiri dari tiga bagian penting yang berjalan beriringan, yaitu:
a.   Votum
“Didalam nama Allah Bapa dan didalam nama, Tuhan Yesus Kristus dan didalam nama Roh Kudus yang telah menciptakan langit dan bumi. Amin.  Ini diucapkan segera setelah pelayan Ibadah atau imam memasuki ruang Ibadah. Dalam votum ini terletak kuasa dan amanat Tuhan. Votum merupakan penyataan kehadiran Allah ditengah-tengah umatNya dan sebagai dasar persekutuan umat. Sehingga pertemuan atau persekutuan itu berasal dari Allah. Dialah yang menciptakan dan memanggil setiap orang untuk hadir ke hadiratNya. Dan persekutuan tersebut tidak berdasarkan marga atau suku, atau bangsa, atau generasi, apalagi budaya, politik, strata ekonomi dan sosial. Sungguh hanya karena Allah.
b.   Salam
Usai penyataan kehadiran, amanat dan kuasa Allah. Imam menyampaikan salam Allah, yaitu ayat alkitab yang berisikan tentang rahmat dan anugerah Tuhan  bagi umatnya. Contohnya adalah ayat untuk minggu Jubilate, “Bersorak-sorailah bagi Allah, hai seluruh bumi...; oleh sebab kekuatanMu yang besar, musuh-musuhMu tunduk menjilat kepadaMU (Maz. 66:1-3).” Disini imam menyapa umatnya, artinya Tuhan berkenan bersekutu bersama umat dan menganugerahkan rahmatNya atas umat, yakni keselamatan.
c.    Introitus
Ayat Alkitab di atas juga dipahami sebagai Introitus, yang mengawali pernyataan Allah kepada umat. Dan dilanjutka dengan sambutan umat atasnya. Di HKBP umat meresponsnya dengan nyanyian, “Haleluya, haleluya, haleluya....” Ungkapan terpujilah Tuhan Allah ini disambung dengan doa umat yang dipimpin oleh imam dan nyanyian rohani yang sesuai dengan tahun Gerejani. Karena hal tersebut merupakan doa umat dan nyanyian umat, selayaknyalah setiap anggota jemaat mengaminkan doa tersebut dalam hati dan dengan bersungguh-sungguh mengungkapkan pujian bagi kemuliaan Tuhan.
2.   Pengakuan Dosa
Ada tiga bagian penting dalam pengakuan dosa bersama ini, yaitu :
a.   Dasa firman
Dasafirman atau yang kita kenal dengan Hukum Taurat. Letak hukum Taurat dalam Gereja-gereja di Indonesia, secara khusus kaum Lutheran dan Calvinis berbeda-beda. HKBP sebagai kaum Lutheran menempatkannya sebelum doa pengakuan dosa, tetapi kelompok Calvin (mis, GPIB) menempatkannya setelah doa pengakuan dosa, sebagai puji-pujian.
HKBP memilih untuk menempatkannya sebelum pengakuan dosa, karena memahami Dasafirman sebagai “CERMIN”. Pada cermin itulah setiap orang berkaca untuk melihat dirinya, sehingga masing-masing orang mengenal dirinya sebagai orang yang tidak luput dari dosa.[2] Pengenalan akan diri[3] itulah yang memotivasi setiap orang memohon kekuatan untuk menyelenggarannya dalam hidup setiap hari (Ale Tuhan Debata sai pargogoi ma hami mangulahon na hombar tu PatikMU).
b.   Doa Pengakuan Dosa
Pengenalan diri yang sungguh-sungguh itu telah membuat penemuan dalam diri kita bahwa kita ada dalam dosa dan memohon keampunan dosa. Ini amat penting dalam hidup dan Ibadah kita. Kita hendak mengakui bahwa kita adalah orang berdosa dan dosa itu telah amat menyedihkan hati kita terlebih Tuhan. Sehingga kita tidak dapat berjalan terus, bila Tuhan tidak mengampuninya. Oleh karena itu, umat yang merindukan keampunan dosa  menyatakannya dengan berdiri.
Bagian ini tidak mengarahkan setiap orang untuk berpaham, “Tuhan Mahakasih, marilah kita berdosa lagi.” Bila setiap minggu hal ini diulang-ulang berarti, pertama, Allah sungguh penuh dengan pengampunan bagi mereka yang sungguh-sungguh mengakui dosanya. Sehingga setiap orang boleh disadarkan kembali akan karya Tuhan dalam hidupnya dan mau hidup dari apa yang dikatakan kepadanya setiap mingu itu.  Kedua, jemaat mau memandang ke depan melalui pintu yang terbuka kepada minggu yang baru dimana Jemaat boleh hidup dari apa yang telah dianugerahkan kepadanya. Sehingga selayaknyalah manusia hidup semakin baik dari minggu ke minggu.
c.    Absolusi
Absolusi atau berita penyelesaian atau keampunan dosa. Dulu, pada tahun 1551, ada pembacaan absolusi yang diikuti dengan berita penolakkan kepada orang yang tidak mengaku dosa dengan sungguh-sungguh. Ini didasarkan kepada pernyataan Tuhan Yesus dalam Matius 16:19, 18:18 dan Yohannes 20:23.[4] Dan umat mensyukuri berita pengampuna dosa itu dengan ucapan, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Maha Tinggi. Amin.”
3.   Epistel
Epistel  berasal dari kata seakar dengan kata Apostel. Apostel untuk pelakunya atau orangnya dan epistel untuk sesuatu yang dituliskan oleh Apostel, artinya semacam surat yang bertujuan menggembalakan atau pembaca memahami apa yang seharusnya dilakukan. Sehingga pembacaan Epistel dalam Ibadah kita bertujuan agar pembaca tidak kembali lagi kepada kehidupan lama, melainkan kepada kehidupan yang baru. Itulah pula sebabnya Epistel dibacakan usai pengakuan dosa.
Setelah umat mendengarkan wejangan atau Epistel itu, imam menyampaikan, “Berbahagialah orang yang mendengarkan Firman Tuhan serta memeliharanya. Amin” Kata “memelihara” dalam ucapan imam tersebut dikutip dari Lukas 11:28. Ini bukan berarti hanya menghapalnya saja. Kata “memelihara” berarti membuatnya hidup, bertumbuh dan berbuah menjadi nilai-nilai dalam hidupnya. Artinya, imam tidak perlu lagi menambahkan kata lain kepada kalimat tersebut.
4.   Pengakuan Iman
Pada awalnya, pengakuan iman ini diucapkan hanya pada penerimaan sakramen baptisan kudus[5]:
Imam                          : Percayakah engkau kepada Allah, Bapa Yang Maha Kuasa?
Orang yang dibaptis :Aku percaya. (kemudian dia diselamkan, yang berarti dikuburkan).
Imam                     :  Percayakah engkau kepada Yesus Kristus, Tuhan kita dan salibnya ?
Orang yang dibaptis   :       Aku percaya (kemudian ia diselamkan, berarti dikubur bersama Kristus, agar dibakitkan pula bersamaNya).
Imam                     :  Percayakah engkau kepada Roh Kudus ?
Orang yang dibaptis   :       Aku percaya (Dan dia diselamkan untuk yang ketiga kalinya).
Jelas disana pengakuan itu diselenggarakan oleh pribadi-pribadi.
Pengakuan iman ini dalam dalam Ibadah dan kehidupan kita memiliki arti sebagai puji-pujian, semacam panji-panji kesaksian bagi dunia dan pernyataan pembelaan atas kebenaran tentang Tuhan kita.. Disamping itu pengakuan iman berfungsi sebagai rangkuman atas seluruh berita tentang karya Tuhan dan renspons kita terhadap perbuatan Tuhan. Sehingga pada tahun 1525, Luther menganjurkan untuk menggunakan pengakuan iman juga dalam Ibadah-Ibadah sesudah pembacaan Injil atau Epistel dan menyatakannya secara serentak. Artinya, sebagai komitmen atas apa yang telah dilakukan Tuhan dalam hidup kita.
Adalah hal yang menarik undangan untuk mengaku iman di HKBP dan di beberapa Gereja lain, demikian, “Bersama saudara seiman di seluruh dunia dan di segala abad, marilah....” Artinya tidak hanya kita yang mengaku seperti itu, melainkan juga seluruh saudara di seluruh dunia. Dan di segala abad berarti, mereka yang telah meninggal dan yang akan datang menyatakan hal yang sama tentang Tuhan dengan segala karyaNya. Ini juga hendak menyatakan kesatuan seluruh tubuh Kristus.
5.   Warta Jemaat
Jadi usai mendengar berita tentang Allah, sebagai sebuah umat yang dipimpin oleh Allah itu pun memiliki kesempatan untuk mengetahui berita sesama warga dan perkembangan persekutuan orang percaya. Sayang sekali, kala warta jemaat disiarkan banyak orang yang tidak peduli dan mensyukurinya. Dalam beberapa jemaat di HKBP, biasanya diselenggarakan doa syafaat atas semua berita itu. Padahal menurut agenda, doa syafaat diselenggarakan usai doa persembahan dan sebelum doa Bapa Kami, sehingga yang terjadi adalah tumpang tindih.
6.    Persembahan
Ada yang menyebut persembahan dengan kata korban atau kolekte. Di Gereja mula-mula, persembahan selalu innatura sebagai bentuk rasa syukur atas pemberian Tuhan. Atas berbagai pertimbangan pada abad 11, persembahan tersebut dirubah menjadi bentuk uang.
Persembahan ini, tentu saja tidak dimaksudkan sebagai korban bakaran sebagaimana Umat Tuhan pada masa lalu, karena Tuhan Yesus sajalah satu-satunya korban yang menggantikan kita semua. Tugas kitalah memberitakan tentang korban itu baik melalui perkataan, perbuatan dan melalui seluruh keberadaan kita (Band. Roma 12 : 1). Jadi persembahan itu pun tidak melulu berarti ucapan syukur belaka, atau amal saja, melainkan juga bentuk kesaksian setiap umat. Setiap orang melalui persembahanny hendak mengakui dan bersaksi betapa baiknya TUHAN. Kita pun mengimani bahwa nyanyian kala kita mengumpulkan persembahan merupakan persembahan.
Oleh karena itu, HKBP tidak mengharuskan dan tidak pula meniadakan pengakuan tentang persepuluhan. Artinya, Persembahan kita adalah harus yang terbaik dari seluruh kehidupan kita baik uang, pikiran, tenaga, perkataan dan perbuatan.
7.   Khotbah
Biasanya ibadah berakhir pada Perjamuan kudus dan persembahan, sehingga setiap minggu Ibadah akan selalu diikuti dengan perayaan perjamuan kudus. Khotbah adalah unsur terakhir yang masuk ke dalam tata ibadah di Gereja mula-mula. Karena khotbah memiliki tempat tersendiri dalam ibadah pelayanan firman atau khotbah. Jadi ada ibadah khusus yang berisikan khotbah. Tetapi, dalam abad pertengahan hal itu dimasukan ke dalam ibadah, sehingga perjamuan kudus menjadi terpisahkan dari ibadah atau tata ibadah. Sampai sekarang, hanya Gereja khatolik yang mempertahankan pelayanan perjamuan kudus itu. Sementara kita merayakannya hanya dua kali setahun.
Khotbah sangat berbeda daripada ceramah. Khotbah dalam Gereja kita adalah media untuk menyatakan kehendak Allah kepada manusia, pengajaran, penyembuhan secara holistik, nubuat dan sarana untuk membenahi seluruh pelayanan setiap anggota Gereja dalam hidupnya setiap hari.
8.   Penutup
Dalam bagian penutup terdiri dari:
a. Doa persembahan dan lagu persembahan.
b. Doa syafaat dan atau doa Bapak kami.
c. Berkat. Rumusan berkat yang sering kita dengar usai ibadah Minggu adalah rumusan dari Bil. 6 : 22 - 27
9.   Nyanyian Jemaat
Nyanyian Jemaat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari setiap butir agenda Minggu. Ini merupakan bentuk dari respons atas setiap butir yang akan dan telah dilalui. Misalnya, lagu kedua dalam setiap ibadah pada hari minggu merupakan pujian atas kesediaan Tuhan hadir di tengah-tengah umatNya sekaligus mengantarkan seluruh umat untuk mengenal dirinya di hadapan Tuhan melalui pembacaan Dasa Titah.
Disamping Nyanyian Jemaat, adapula Koor. Pada mulanya, Koor berfungsi sebagai Kantoria atau pemandu lagu jemaat. Oleh karena itu, Koor seharusnya memilih lagu bukan karena ada lagu baru, atau sekedar sebagai ajang untuk memperdengarkan suara yang merdu apalagi hanya untuk menunjukkan eksistensi diri. Melainkan, Koor harus selalu berhubungan dengan tata ibadah itu sendiri. Artinya, Koor harus sungguh-sungguh menolong umat juga untuk memahami Ibadahnya.

Ibadah tidak berguna tanpa iman.
Konfesi Gereja Lutheran
 (Buku Konkord-terj., 328)
Melalui Iman, kita memperoleh berkat berupa hubungan yang tidak terputuskan
 dengan Tuhan Yang Mahahadir dan Mahakuasa.
(Andrew Murray, The Prayer Life)



[1] SITOMPUL, A. A., Pdt., Dr., Parmingguon Na Mangolu, P. Siantar, Perc. HKBP, Mei 1986, hal. 7
[2] SIAHAAN, P.G., St., MAKNA DARI IBADAH MINGGU DI HKBP, Ciputat, 2000.
[3] SITOMPUL, A.A., Pdt. Dr., BERTUMBUH SEBAGAI UMAT ALLAH – Buku Katekisasi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991, 23. Allah memberi kita perintah-perintahNya: sebagai pagar untuk melindungi kita, cermin untuk menunjuk dosa kita dan rambu atau petunjuk menyenangkan hati Tuhan.
[4] ABINENO, J. L. Ch., Pdt., Dr. UNSUR-UNSUR LITURGIA, Jakarta, BPK Gunung Mulia, cet. Ketiga, 2000, 22.
[5] Abineno, J. L. Ch., Dr., UNSUR-UNSUR LITURGIA, Jakarta, BPK Gunung Mulia, cet. Ketiga, 2000, hal. 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar