Oleh: Kenia
Oktaviani
Semester ini
hidup saya diwarnai dengan list pelayanan yang begitu panjang. Ada begitu
banyak hal yang terjadi di luar prediksi saya, ketika menerima tanggung jawab
pelayanan. Deretan list yang harus saya kerjakan setiap harinya membuat saya
begitu lelah.
Inilah
awalnya mengapa saya begitu bergumul tentang apa makna pelayanan yang
sebenarnya. Siang itu, saya membaca artikel yang berisi pertanyaan :
"Apakah saya melayani Tuhan atau melayani pekerjaan Tuhan?"
Pertanyaan ini mengusik hati saya, membuat saya bergumul dan terus memeriksa
hati saya. Sebenarnya apa yang selama ini saya kerjakan? Benarkah yang saya
kerjakan pada hakikatnya adalah untuk menyenangkan Tuhan?
Untuk
menjawab hal ini, saya bertanya kepada beberapa orang yang saya kenal, tentang
perbedaan melayani Tuhan dan sekedar melayani pekerjaan Tuhan. Dua orang teman
saya menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang sangat mirip dan begitu
menegur saya.
Perbedaannya
terletak pada fokus hati kita. Melayani Tuhan berfokus pada mengerjakan apa
yang Tuhan mau untuk kita kerjakan, sedangkan melayani pekerjaan Tuhan berfokus
pada menyelesaikan list-list pekerjaan pelayanan. Melayani Tuhan menghasilkan
buah-buah roh, melayani pekerjaan Tuhan menghasilkan kelelahan yang panjang.
Melayani Tuhan tidak menuntut penghargaan, melayani pekerjaan Tuhan menuntut
pengakuan.
Seringkali
seorang Kristen terjebak dalam dilema kedua hal ini. Sulit untuk membedakan
keduanya ketika kita disibukkan dengan begitu banyak aktivitas dan rutinitas
pelayanan. Sulit untuk memiliki waktu sejenak, berfleksi, dan menggumulkan
sebenarnya di posisi mana kita berdiri, khususnya ketika begitu banyak tuntutan
pelayanan yang harus kita kerjakan. Melayani Tuhan menjadi begitu melelahkan
dan menguras emosi. Melayani Tuhan agaknya menjadi beban yang harus dipikul
orang percaya setiap harinya.
Saya mulai
bergumul bagaimana saya bisa keluar dari dilema ini. Saya menemukan bahwa
sesungguhnya tidak ada yang salah dengan banyaknya pekerjaan pelayanan yang
saya harus kerjakan. Tidak ada yang salah dengan tanggung jawab yang
dipercayakan kepada saya. Yang menjadi persoalannya adalah dari titik point
mana saya berpijak? Sudahkah saya melihat pelayanan dengan konsep pola pikir
yang benar?
Lukas 17 membantu saya merefleksikan hal ini
sejenak.
(7) Siapa di
antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan
ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang:
Mari segera makan! (8) Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu:
Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku
makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. (9) Adakah ia
berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang
ditugaskan kepadanya? (10) Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan
segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah
hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus
lakukan."
Bagaimana
kita melihat diri kita di hadapan Tuhan? Apakah kita menyadari bahwa
sesungguhnya posisi kita di hadapan Tuhan adalah sebagai seorang hamba? Saya
berhutang, Anda berhutang, kita berhutang terlalu banyak kepada Allah.
Penebusannya di kayu salib adalah anugerah yang seharusnya tidak layak kita
terima. Pantaskah seorang hamba mengharapkan terima kasih setalah ia melakukan
apa yang seharusnya memang ia kerjakan?
Kami hanya
melakukan apa yang seharusnya kami lakukan, bukankah kata- kata ini yang
seharusnya terus terngiang-ngiang setiap kali kita memiliki kesempatan untuk
melayani Tuhan? Dan lebih dari itu, bukankah kesempatan ini adalah anugerah?
Kenyataannya Allah dapat memakai siapa saja, bahkan apa saja untuk melakukan
pekerjaan Tuhan. Bukankah suatu anugerah untuk berbagian dalam pekerjaan
pelayanan Tuhan? Pernahkah justru kita membalik pertanyaan kita dari
"Mengapa saya yang harus melakukan pekerjaan-pekerjaan ini?" menjadi
"mengapa Tuhan memilih saya untuk mengerjakannnya?"
Kelelahan,
kekecewaan, keputusasaan, bahkan perasaan frustasi sangat mungkin terjadi
ketika kita melayani Tuhan. Tapi maukah kita mengambil keputusan untuk sekedar
menilik kembali posisi di mana seharusnya kita berdiri, dan melihat semua
tanggung jawab sebagai anugerah yang dipercayakan kepada kita? Melayani Tuhan
bukan beban, melayani Tuhan adalah kesempatan dan anugerah.
Pada
akhirnya, marilah kita terus memiliki kerinduan, untuk ketika kita berhadapan
muka dengan muka dengan Tuhan kelak, kita dapat mendengar Ia memanggil kita
dengan sebutan; Hai hambaku yang baik dan setia. Mari tunaikan tugas pelayanan
dengan gentar, semata-mata karena anugerah Tuhan. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar